Review: Lost in Papua (2011)
Posted: March 10, 2011 in Movies, ReviewTags: Asian Cinema, Didi Petet, Dody Mahuze, Edo Borne, Fanny Fabriana, Fauzi Baadilla, Indonesian Cinema, Irham Acho Bahtiar, Lost in Papua, Movies, Nila Septian, Petrus Taro Gebze, Piet Pagau, Review, Vicky Egu
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis sutradara Lost in Papua, Irham Acho Bachtiar, tertulis bahwa tujuan sederhana dari pembuatan Lost in Papua adalah
“untuk menunjukkan keunikan dan kekayaan wisata budaya di Papua Selatan
serta segala misterinya yang belum pernah Anda lihat.” Sebuah tujuan
yang sangat mulia, tentu saja, mengeksplorasi keindahan alam luas Papua
yang selama ini jarang disentuh oleh banyak pembuat film Indonesia.
Tujuan yang mulia tersebut dilakukan Irham lewat film cerita, dan bukan
dokumenter, dengan “kemasan yang dibuat lebih ringan dan bersifat
hiburan dengan genre komersil, sehingga budaya yang disampaikan akan
masuk ke anak anak muda yang sebelumnya tidak tertarik melihat budaya
Indonesia.” Ringan? Hiburan? Komersil? Dengan apa yang dipaparkan Irham
lewat film ini — yang berjalan dengan kisah yang semakin absurd ke penghujung filmnya, Lost in Papua lebih tepat digambarkan sebagai sebuah bencana berbentuk film yang diselimuti dengan keindahan alam Papua.
Salahkan hal tersebut pada penulis naskah
film ini, Ace Arca dan Augit Prima, yang semenjak awal seperti tidak
tahu apa yang harus dilakukan dengan jalan cerita film ini. Tidak
sepenuhnya buruk, sebenarnya. Lost in Papua justru dimulai dengan sangat baik. Dibuka dengan adegan berunsur thriller yang melibatkan penampilan terbaik Edo Borne yang ia lakukan hanya selama 10 menit, Lost in Papua
kemudian memperkenalkan penonton dengan karakter utama film ini, Nadia
(Fanny Fabriana), yang ditugaskan oleh pemimpin perusahaannya, Pak
Wijaya (Didi Petet), untuk berangkat ke Papua. Dan berbagai kelemahan
film ini mulai terkuak satu persatu.
Pertama, sebelum memberikan penilaian
buruk terhadap seluruh unsur pendukung film ini, mari memberikan selamat
kepada Fanny Fabriana yang berhasil hingga penghujung film memberikan
kemampuan akting yang sangat prima, terlepas dari berbagai adegan konyol
dan tidak masuk akal yang ia lakukan. Saudara-saudara sekalian, jika
Anda membutuhkan satu alasan untuk mengeluarkan uang dan menyaksikan Lost in Papua,
maka Fanny Fabriana adalah alasan tersebut. Fanny berhasil memerankan
sosok wanita yang kehilangan kekasihnya di awal film, berusaha untuk
mencarinya di tengah-tengah hutan rimba yang kejam, berlari-lari
menghindari kematian hingga harus melayani nafsu seorang kepala suku
kanibal (yang berjenis kelamin wanita) dengan sangat anggun. Seluruh
adegan tersebut melibatkan berbagai tampilan emosi dan Fanny mampu
mengeluarkan setiap sisi emosi tersebut dengan sempurna. Bravo, Fanny!
Sekarang, mari kembali ke Lost in Papua secara keseluruhan. Seperti halnya Laskar Pelangi (2008) atau Denias, Senandung di atas Awan (2008),
Irham Acho Bachtiar memutuskan untuk menggunakan pemeran pendukung dan
figuran yang berasal dari tanah Papua untuk menjaga rasa orisinalitas
jalan cerita film ini. Sayangnya, tidak seperti para sutradara dua film
yang disebutkan sebelumnya, Irham masih belum memiliki kemampuan untuk
mengeluarkan sisi akting terbaik dari para pemerannya yang notabene
belum pernah terlibat dalam dunia peran sebelumnya. Hasilnya, banyak
adegan yang seharusnya melibatkan permainan emosional yang mendalam
menjadi terbuang begitu saja dan berjalan datar. Sangat datar.
Masalah masih datang dari jalan cerita Lost in Papua yang berjalan semakin menuju penghujung cerita, semakin dipenuhi dengan kisah-kisah yang absurd,
kurang begitu dapat diterima akal sehat (terlepas bahwa ini adalah
sebuah film) dan berjalan kontradiktif dengan jalan cerita di adegan
yang sebelumnya telah dipaparkan. Contoh kecil: Nadia ditugaskan oleh
pemimpin perusahaannya ke Papua untuk melakukan survey lokasi.
Pernahkah penonton melihat Nadia melakukan tugasnya? Tidak. Nadia justru
kemudian berangkat ke hutan untuk mencari jejak sang kekasih. Apakah
Nadia merasa tertekan dengan fakta bahwa ia kehilangan sang kekasih?
Pada beberapa adegan memang digambarkan begitu (walau sesaat setelah ia
mengenang sedih sang kekasih, sesaat kemudian Nadia seperti siap untuk
berpesta, namun tetap saja karakter Nadia masih sempat bersenang-senang,
berjalan-jalan dan berbelanja sebelum memasuki wilayah hutan tempat
kekasihnya hilang dan yang dikabarkan angker itu. Toh rasa
kehilangan sang kekasih tersebut tak membuat Nadia lupa untuk tidak
menjalin hubungan dengan beberapa pria yang ada di dalam jalan cerita.
Hal-hal tersebut masih beberapa hal yang terkesan aneh dalam penceritaan
film ini. Anda masih harus melalui berbagai adegan lainnya yang tak
kalah absurd-nya, seperti, sebut saja, sekelompok pria yang
diculik oleh sebuah masyarakat suku kanibal dan menyiksa mereka dengan
menjadikan mereka sebagai “pejantan?” Ya… dan seluruh penonton bioskop
tertawa dengan lebar. Maaf, saudara Ace Arca dan saudara Augit Prima.
Pengaruh menonton film-film asing bertema kanibal itu tak seharusnya
saudara masukkan di film Lost in Papua dengan porsi cerita yang terlalu mengada-ada seperti ini.
Sebagai sebuah film yang bertujuan “untuk
menunjukkan keunikan dan kekayaan wisata budaya di Papua Selatan serta
segala misterinya yang belum pernah Anda lihat,” Lost in Papua
beberapa kali mengajak penontonnya untuk melihat keindahan alam budaya
Papua, dengan menunjukkan beberapa lokasi wisata di Papua serta beberapa
pertunjukan budaya khas masyarakat tradisional Papua. Apakah
mengesankan? Sayangnya tidak. Penonton yang mengharapkan sajian
sinematografi alam luas papua yang dipenuhi keindahan luar biasa harus
siap-siap gigit jari. Sementara pertunjukan budaya yang ditampilkan
terkesan tak lebih dari sekedar gimmick belaka yang gagal
berpadu dengan jalan cerita yang diberikan. Oh ya, dalam pernyataan yang
masih ditulis oleh sang sutradara, ia juga ingin “mencoba menempatkan
pariwisata dan budaya etnik ke dalam sebuah susunan kemasan cerita
komersil.” Film horor asing, Hostel: Part II (2007), pernah
menggunakan teknik yang sama dengan menggunakan negara Slovakia sebagai
latar belakangnya. Dan jujur saja, dengan apa yang digambarkan di film
itu, hingga saat ini mungkin Slovakia (atau seluruh negara Eropa dengan
mana berakhiran –kia) akan dihindari banyak wisatawan. Walaupun fiktif,
gambaran para suku yang menetap di Papua seperti yang ada di dalam Lost in Papua tidak akan memberikan hasil yang lebih baik daripada apa yang dihasilkan Hostel: Part II.
Lost in Papua juga dikabarkan
menjadi sebuah film yang mendapatkan perlakuan tidak adil dari Lembaga
Sensor Film dengan cara beberapa adegannya dipotong dari jalan cerita.
Entah benar atau tidak, namun teknik editing film Lost in Papua adalah salah satu teknik editing
film yang paling buruk yang pernah terlihat. Begitu kasar dan selalu
hadir secara mendadak menghilangkan esensi cerita, khususnya di 45 menit
akhir film ini. Terlepas dari teknik editing tersebut, 45 menit terakhir Lost in Papua
menjadi bagian terburuk film ini juga karena jalan cerita yang tadinya
berjalan dengan ritme lamban, secara mendadak berjalan dengan kecepatan
tinggi dengan arah yang tak menentu untuk mempercepat proses datangnya ending cerita.
Entah apa yang sebenarnya ingin dikisahkan oleh Lost in Papua.
Apakah film ini ingin memberikan gambaran mengenai indahnya alam Papua?
Lalu kenapa tata sinematografi film ini sama sekali tidak memikat?
Apakah film ini ingin mengenalkan budaya masyarakat Papua? Dengan
tampilan yang singkat dan sama sekali tak mampu terintegrasi dengan
jalan cerita utama membuat berbagai kesenian yang ditampilkan menjadi
sekedar tempelan belaka. Sebuah film drama? Sama sekali tidak menyentuh
dan mengikat penontonnya. Action? Adegan berlari-lari di hutan dan gambaran perseteruan beberapa karakter dapat disebut action? Horor? Jika Anda mengkategorikan diculik oleh sebuah kelompok suku wanita kanibal untuk dijadikan “pejantan” maka Lost in Papua
adalah sebuah film horor. Secara sekilas, seluruh unsur tersebut
terdapat di film ini. Secara keseluruhan, unsur-unsur tersebut hadir
tanpa mampu dieksplorasi dengan baik dan membuat Lost in Papua
menjadi sebuah ruang hampa sepanjang 90 menit yang tanpa emosi, datar,
dan berbagai variasi kata lain untuk menggambarkan sebuah film yang
membosankan. Poin untuk film ini sepenuhnya diberikan pada keberanian
pemilihan Papua sebagai latar belakang film dan Fanny Fabriana yang
tetap tampil memikat di film buruk ini.
Catatan: Nama Fauzi Baadilla sama sekali tidak disebut di sepanjang review karena
ia tampil “sempurna” sebagai seorang “bajingan.” Hampir seperti tidak
berusaha sama sekali. Tunggu, ia tampil dengan ekspresi yang sama di
setiap adegan. Dan itu berhasil menghidupkan karakternya sebagai seorang
“bajingan” dengan baik. Jika Anda tidak dapat menangkap nada sarkasme
dalam kalimat tersebut maka mungkin akan lebih baik untuk menyebut Fauzi
Baadilla sama sekali tidak berakting di sepanjang di film ini. Dia
adalah seorang “bajingan” secara alami dan Anda akan membenci setiap
kehadirannya di berbagai adegan di film ini.
Lost in Papua (2011)
Directed by Irham Acho Bahtiar Produced by Naynie Ardiansyah, Iwan Trilaksana Written by Ace Arca, Augit Prima Starring Fanny Fabriana, Fauzi Baadilla, Piet Pagau, Didi Petet, Edo Borne, Petrus Taro Gebze, Vicky Egu, Nila Septian, Dody Mahuze Music by Uyung Mahagenta Cinematography Brama Yudha P Editing by Andhy Pulung, Augit Prima Studio Nayacom Mediatama/Merauke Enterprice Production Country Indonesia Language Indonesian
About these ads
No comments:
Post a Comment